Jumat, 15 Februari 2013

sejarah benteng somba opu dan benteng rotterdam

Sejarah Benteng Somaba Opu dan Benteng Rotterdam


BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang  bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada  pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan  rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa.
Pada tanggal 24 Juni 1669,  benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh  ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah  ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi  sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek  wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.


B.     Permasalahan


1.      Bagaimana sejarah Benteng Somba Opu?

2.      Bagaimana sejarah Museum Karaeng Pattingalloang?

3.      Apa saja koleksi Museum Karaeng Pattingalloang?

4.      Bagaimana sejarah Benteng Ujung Pandang?

5.      Bagaimana sejarah Museum La Galigo?


C.    Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini, yaitu:


1.      Untuk mengetahui sejarah Benteng Somba Opu

2.      Untuk mengetahui sejarah Museum Karaeng Pattingalloang

3.      Untuk mengetahui koleksi dari Museum Karaeng Pattingalloang

4.      Untuk mengetahui sejarah Benteng Ujung Pandang

5.      Untuk mengetahui sejarah Museum La Galigo
6.      Untuk memenuhi tugas penelitian Budaya-budaya daerah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    BENTENG SOMBA OPU

1.      Sejarah Benteng Somba Opu

Benteng Somba Opu adalah benteng utama Kerajaan Gowa. Didirikan atas perintah raja Gowa IX , Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Untuk memmbentengi kota Somba Opu dengan dinding tanah liat. Pembangunan itu dilanjutkan oleh Sultan Hasanuddin dan raja-raja sesudahnya. Sehimgga Benteng Somba Opu menjadi sebuah benteng yang sangat kuat.
Benteng somba opu berbentuk segi empat, tiap sisinya berykuran kurang lebih 2 kilo meter dengan tinggi 7-8 meter, tebalnya rata-rata 12 kaki. Terdapat 4 buah selokoh berbentuk setengah lingkaran untuk menempatkan senjata-senjata berat, seperti meriam. Sebuah selokoh paling besar terdapat pada sudut barat laut yang diberi nama Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah di tempatkan meriam besar yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam Anak Makassar.
Serangan Belanda di bawah pimpinan C.J. Speelma pada tanggal 15 Juni 1669 terhadap Benteng Somba Opu menyebabkan terjadinya perang besar antara Kerajaan Gowa dengan Belanda. Kmudian pada tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Belanda dan oleh Speelman , Benteng Somba Opu dihancurkan dengan ribuan pon bahan peledak.
Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah  ilmuan. Pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi  sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek  wisata yang sangat menarik, yaitu sebagai sebuah museum bersejarah.
Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya.
Pernyataan Wallace bisa jadi benar. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu, akan segera terlihat tembok benteng yang kokoh. Menggambarkan sistem pertahanan yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan.
Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia. Namanya Meriam Anak Makassar. Bobotnya mencapai 9.500 kg, dengan panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm.
Sebenarnya, Benteng Somba Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa beberapa dinding yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat.
Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa di bawahnya terdapat dinding yang belum tergali. Memang, setelah berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda menghancurkan benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut.
Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter.
Benteng Somba Opu sekarang ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan. Wisatawan dapat menikmati bentuk-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar tak jauh dari benteng.


2.      Museum Karaeng Pattingalloang

Museum yang terletak di dalam kawasan Benteng Somba Opu ini didirikan pada tahun 1992 untuk melengkapi Taman Miniatur Sulawesi Selatan yng diberi nama Museum Karaeng Pattingalloang, diambil dari nama salah seorang tokoh cendikiawan Kerajaan Gowa.
Karaeng Pattingalloang lahir pad tahun 1600 bernama lengkap “I mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud”, putra Raja Tallo “I Mallingkaaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Ia pernah menjabat sebagai pelaksana Raja Tallo, karena I Mappaijo Daeng Manyuru yang diangkat sebagai Raja Tallo baru berusia 1 tahun.
Karaeng Pattingalloang menjabat Mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1654.
Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kecakapannya melebihi orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun, ia telah menguasai banyak bahasa asing, seperti: bahasa Latin, bahasa Yunani, Itali, Prancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa asing lainnya.
Selain itu Karaeng Pattingalloang juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Hindia Belanda melalui wakilnya di Batavia pernah menghadiahi Karaeng Pattingalloang sebuah Globe “Bula Dunia” pada tahun 1652 yang khusus dibuat di Belanda.
Beliau juga seorang saudagar, ia bersama Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedro Ia Mata, konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta seorang pelaut ulung Potugis Fransisco Viera de Fihgeiro untuk berdagang dalam negeri.
Karaeng Pattingalloang adalah tokoh cendikiawan dan negarawan Kerajaan Gowa di masa lalu. Beliau wafat pada 17 September 1654. Ia pernah berpesn kepada generasi yang ditinggalkan unuk menjaga lima hal yang dapat menyebabkan runtuhnya suatu negeri yang besar, yaitu:
ð  Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Manggauka
“Apabila Raja yang sedang bertahta tidak mau dinasehati lagi”
ð  Punna taenamo tu mangngasseng ri lalang pa’rasanganga
“Apabila tidak ada lagi orang cerdik-pandai di dalam negeri
ð  Punna majai gau’ lompo ri lalalng pa rasanganga
“Apabila sering terjadi huru-hara di dalam negeri
ð  Punna angngallengasemmi soso’ pabbicaraya
“Apabila para penegak hukum sudah menerima suap”
ð  Punna taenamo nakamaseyangngi atanna Karaeng Manggau’ka
“Apabila Raja yang sedang berkuasa sudah tidak lagi mengasihi rakyatnya”


3.      Beberapa Koleksi Museum Karaeng Pattingalloang

Koleksi Museum Karaeng Pattingalloang sebaguan besar diperoleh melalui ekskavasi penyelamatan Benteng Somba Opu pada tahun 1989, sebelum direvitalisasi menjadi Taman Miniatur Sulawesi Selatan. Koleksi-koleksi tersebut berupa material batu bata yang digunakan dalam pembangunan Benteng Somba Opu, fragmen porselin, fragmen gerabah, alat upacara, replica senjata tradisinal yang digunakan dalam upacara kerajaan dan pakaian adat empat etnik di Sulawesi Selatan dan Barat serta koleksi mata uang kuno yang pernah berlaku di Indonesia (Neumismatik).
a.       Koleksi Material Batu Bata

b.      Koleksi Fragmen Porselin

c.       Koleksi fargmen Gerabah

d.      Koleksi Alat Upacara

e.       Replika Senjata Tradisional
f.       Koleksi Mata Uang
g.      Pakaian Adat Empat Etnik


B.     BENTENG UJUNG PANDANG (FORT ROTTERDAM)

1.      Sejarah Benteng Ujung Pandang

Benteng Ujung Pandang dibangun oleh Raja Gowa ke IX Daeng Matare Karaeng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X Imanriogau Bontokaraeng lakiung Tonipallangga Ulaweng dengan konstruksi tanah liat pada tahun 1545. Atas perintah Raja Gowa XIV Imangerangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin) pada tahun 1634 tembok benteng diperbaiki dan menambah material batu karang, batu padas, dan batu bata menggunakan kapur dan pasir sebagai perekat.

Benteng Ujung Pandang terletak sebelah utara Benteng Somba Opu di wilayah kelurahan Kampung Baru Kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar, dengan letak astronomis 508,3 lintang selatan dan 119 24,17 bujur timur dengan ketinggian 0,5 meter di atas permukaan laut.
Luas Benteng Ujung Pandang adalah 28.595,55 meter bujur sangkar, dengan ukuran panjang setiap sisi berbeda, serta tinggi dinding berfariasi antara 5-7 meter dengan ketebalan 2 meter.

Benteng Ujung Pandang mempunyai lima buah sudut (Bastion), yaitu:
v  Bastion Bone terletak di sebelah barat

v  Bastion Bacam terletak di sudut barat daya
v  Bastion Butan terletak di sudut barat laut
v  Bastion Mandarsyah terletak di sudut timur laut
v  Bastion Amboina terletak di sudut tenggara

2.      Nama-Nama Benteng Ujung Pandang


"  Benteng Ujung Pandang karena letaknya di ujung atau tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pandan.

"  Benteng Panynyua karena bentuknya seperti Penyu yang sedang merayap ke laut.

"  Fort Rotterdam, nama yang diberikan oleh Belanda setelah menaklukkan Sultan Hasanuddin. Nama ini sesuai dengan kota kelahiran Cornelis Speelman di negeri Belenda.

"  Kota Towaya, bahasa Makassar ini merupakan pusat kegiatan pemerintahan di masa lalu.



3.      Fungsi Benteng Ujung Pandang


!  Sebagai Benteng Kerajaan Gowa

!  Sebagai Benteng Pertahana Belanda



4.      Sejarah Museum La Galigo

Museum bersejarah yang terdapat di kota Makassar, Sulawesi Selatan ini diberi nama “La Galigo” atas saran seorang seniman, karena nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan We Cudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu pada abad ke-14.
La Galigo juga nama sebuah karya sastra klasik dalam bentuk naskah tertulis bahasa Bugis yang terkenal dengan nama Sure’ La Galigo, dengan panjang 9.000 halaman, dan La Galigo sendiri dianggap sebagai pengarangnya (studi mengungkapkan kemungkinan penulisnya adalah perempuan bangsawan). Isinya mengandung cerita-cerita, tatanan, dan tuntunan hidup orang Sulawesi Selatan dulu, seperti sistem religi, ajaran kosmos, adat-istiadat, bentuk, dan tatanan masyarakat/pemerintahan tradisional, pertumbuhan kerajaan, sistem ekonomi/perdagangan, keadaan geografis, dan peristiwa penting yang pernah terjadi. Pada masa dahulu naskah atau Sure’ yang dipandang suci ini disakralkan dan hanya dapat dibaca pada waktu-waktu tertentu sambil dilagukan.



BAB III
PENUTUP




A.    Kesimpulan

Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX yang  bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada  pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan  rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada tanggal 24 Juni 1669,  benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh  ombak pasang.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke IX yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti dengan sedimen endesit.



B.     Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kita semua dapat mencintai dan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah khususnya Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) yang pada saat ini menjadi salah satu potensi wisata sejarah yang terabaikan.

Dan juga diharapakan kepada Pemerintah agar tidak tinggal diam dan ikut ambil andil dalam pelestarian keduanya agar situs-situs sejarah ini tidak terabaikan. Dan diharapkan ke depan situs-situs sejarah ini dapat menjadi objek wisata sejarah yang terkenal di kanca Nasional dan Internasional.







DAFTAR PUSTAKA



Pegelola Benteng Somba Opu, UPTD, 2012. Museum Karaeng Pattingalloang Benteng Somba Opu. Makassar: DISBUDPAR Provinsi Sulawesi selatan.

Pengelola Museum La Galigo, 2012. Manusia Sepanjang Sejarah: Manusia dan Kebudayaannya, Sejarah Benteng Ujung Pandang, Koleksi Sejarah. Makassar: Museum La Galigo.

1 komentar:

  1. Tuk Penulis...., adakah literatur yg dapat dipedomani kata "SOMBA OPU" berasal dari bahasa apa dan kenapa memakai nama itu...., pakah ada kaitannya (bahasa) dg daerah2 lain., seperti Buton (Cia-Cia), Maluku (Alifuru)., dll.....,

    BalasHapus