Senin, 14 Januari 2013

DAMPAK GLOBALISASI PADA TATA RUANG WILAYAH DAN KOTA

DAMPAK GLOBALISASI PADA TATA RUANG WILAYAH DAN KOTA


Menutup abad ke-20 globalisasi industri telah membawa dampak yang luar biasa pada perkembangan sosial ekonomi maupun fisik kota dan wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan permukiman-permukiman baru, sebagai konsekuensi kian meningkatnya penanaman modal, khususnya modal asing, dalam sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Hal ini sangat mudah dimengerti karena industri manufaktur maupun properti keberadaannya sangat mengelompok di kota-kota besar dan wilayah sekitarnya, karena fasilitas-fasilitasnya berada di sana. 

Akibatnya kota-kota besar di Jawa, seperti Jabotabek, Gerbang kertasusila dan Bandung Raya, mengalami perkembangan yang luar biasa. Mudah pula dimengerti kalau secara fisik perkembangan yang terjadi adalah pada bagian tepi (outskirts) kotakota besar tersebut, karena faktor ‘kemudahan’ dalam memperoleh lahan yang lebih murah.

Kawasan pusat kota secara besar-besaran juga mengalami pergeseran fungsi, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan jasa. Industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Permukiman di pusat kota beralih fungsi menjadi kawasan bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya, sedangkan permukiman begeser ke arah pinggir kota. Namun demikian perlu dicatat bahwa perkembangan kegiatan industri di tepi kota-kota besar merupakan industri yang bersifat footloose, yakni jenis industri yang keterkaitannya dengan bahan baku lokal serta perekonomian lokal sangat lemah, misalnya industri-industri barang elektronik, garmen, sepatu dan sebagainya, dimana bahan bakunya dipasok dari luar negeri. Keterkaitan dengan ekonomi lokal hanya sebatas penyediaan tenaga kerja murah.

Tidak mengherankan pula kalau arus migrasi menuju kotakota besar semakin meningkat, terutama buruh wanita yang bekerja di industri-industri tersebut, yang pada gilirannya menyebabkan pertambahan pesat penduduk di kota-kota tersebut, terutama di bagian tepinya (Firman, 2003). Untuk kasus Jabotabek, hal tersebut ditunjukkan dengan sangat tingginya laju pertambahan penduduk di kabupaten dan kota sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Sementara itu pertambahan penduduk di Kota Jakarta sendiri relatif sangat kecil, bahkan Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa laju pertambahan penduduk wilayah Jakarta Pusat selama kurun 1990-2000 menunjukkan angka yang negatif (BPS, 2000).

Fenomena tata ruang lainnya yang dapat diobservasi saat itu bahkan hingga kini adalah konversi lahan pertanian subur di pinggiran kota menjadi kawasan industri dan permukiman baru. Hal ini terjadi pada skala besar-besaran dan tidak terkontrol, sementara rencana tata ruang wilayah hanya sebagai macan kertas. Konversi ini bahkan terjadi di kawasan yang berfungsi lindung, seperti Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) dan Bandung Utara. Rencana tata ruang dalam kenyataannya sangat dikendalikan oleh para developer, yang hanya beorientasi pada bisnis lahan ketimbang pengembangan tata ruang wilayah. Pada saat itu pemerintah kota dan kabupaten maupun badan Pertanahan nasional (BPN) seolah-olah tidak berdaya menghadapi tekanan dari developer. Suatu contoh adalah rencana pengembangan permukiman yang kontroversial di Jonggol, yang direncanakan untuk menjadi pusat pemerintahan nasional. Namun demikian, pada akhirnya rencana kontroversial ini dibatalkan pemerintah.

Wujud tata ruang perkembangan wilayah dan kota di Jawa ditandai dengan semakin intensifnya hubungan kota-desa. Perbedaan kota dan desa secara fisik semakin tidak jelas. Demikian juga kegiatan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan tidak selalu indentik dengan agraris (pertanian), tapi sudah merupakan suatu campuran dengan kegiatan bukan pertanian. Kehidupan masyarakat perdesaan juga diwarnai dengan semakin berkembangnya kegiatan off-farm employment. Hal ini dikarenakan semakin terbukanya kesempatan-kesempatan kerja di luar pertanian, sementara sempitnya lahan pertanian yang mereka miliki tidak memungkinkan dijadikan sebagai gantungan kehidupan sepenuhnya.

Dapat pula diamati bahwa perkembangan sosioekonomi serta fisik kawasan-kawasan tepi kota telah membentuk kecenderungan perkembangan sabuk (belt) wilayah perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, seperti misalnya sabuk Jakarta-Bandung; Semarang-Solo-Yogyakarta; Semarang-Surabaya dan lainnya. Perkembangan ini berjalan seolah tanpa kendali, karena memang rencana tata ruang hampir-hampir tidak berdaya mengendalikannya.

Di wilayah luar Jawa yang menonjol adalah perkembangan wilayah Pulau Batam yang melaju pesat. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena Batam merupakan bagian dari Segitiga Pertumbuhan Sijori (Singapura-Johor-Riau). Kelangkaan lahan di Singapura, menyebabkan investor menanamkan investasinya di Batam. Proses ini ditunjang kerja sama Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan Batam berkembang menjadi suatu konsentrasi kegiatan industri di luar Pulau Jawa. Sementara itu, Batam juga mengalami laju pertumbuhan penduduk pesat, yakni 15,6% per tahun dalam kurun waktu tahun 1990-2000 (Badan Pusat Statistik, 2000), karena derasnya laju pendatang yang tertarik kesempatan kerja di sana, terutama dari Pulau Jawa. Hal ini merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perkotaan di Batam, seperti rumah liar (ruli), kriminalitas dan lainnya.

Wilayah di luar Jawa yang menonjol perkembangnnya adalah Kalimantan Timur, yang tumbuh karena potensi minyak, gas bumi serta kayu (timber). Proporsi jumlah penduduk perkotaan, sering disebut tingkat urbanisasi, propinsi ini mencapai 57,6% pada tahun 2000 (BPS, 2000), suatu tingkat yang tinggi dibanding propinsi lain, kecuali DKI Jakarta. Sementara itu, laju kenaikan penduduknya mencapai 2,74% per tahun pada kurun waktu tahun 1990-2000, suatu angka yang tinggi bila dibanding laju kenaikan penduduk Indonesia keseluruhan sebesar 1,35% per tahun. Hal ini mencerminkan berkembangnya kegiatan ekonomi pada sektor minyak dan gas bumi, serta sumberdaya mineral, yang pada dasarnya digerakkan investasi dari luar negeri. Ini pun mencerminkan bagaimana aliran investasi, sebagai bagian dari globalisasi, mempengaruhi perkembangan di Propinsi tersebut, dan tata ruang nasional. Perkembangan ini pada gilirannya telah mendorong pertumbuhan kota Balikpapan dan Samarinda.

Propinsi lain yang berkembang pesat karena dampak global, antara lain, Bali dan Sumatera Utara. Bali yang merupakan salah satu pusat tourisme dunia, telah mencapai tingkat urbanisasi hampir 50% pada tahun 2000, yang berarti dalam sekitar setengah penduduk Bali bermukim di kawasan yang dikategorikan sebagai urban. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung yang merupakan lokasi perhotelan dan kegiatan pariwisata lainnya mencapai 2,77% per tahun selama kurun waktu tahun 1990-2000. Perkembangan kegiatan ekonomi di Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jelas bahwa setiap goncangan yang berdampak pada pariwisata, seperti misalnya terorisme atau wabah penyakit, berdampak pada perkembangan ekonomi di Bali. Contohnya, peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 berdampak buruk pada perekonomian Bali. Sementara itu, Propinsi Sumatera Utara perkembangan ekonominya ditunjang potensi perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Propinsi yang berada di perbatasan juga memiliki potensi memanfaatkan dampak positif globalisai, seperti misalnya Propinsi Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Malaysia, serta Propinsi Sulawesi Utara yang berbatas dengan Filipina. Namun demikian hingga saat ini tampaknya dampak-dampak tersebut belum bekerja penuh. Beberapa Propinsi lain yang berbatasan dengan Malaysia dan Thailand pernah direncanakan dikembangkan melalui kerjasama BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Philippines-East ASEAN Growth Area), pada pertengahan tahun 1990-an, namun kemudian tidak terealisasi dengan baik karena berbagai kendala, terutama sejak krisis ekonomi melanda Asia.

Demikian pula kerjasama interregional lintas batas negara, juga pernah dilakukan untuk Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Area (IMT-GT). Daerah-daerah yang terlibat dalam kerja sama ini adalah Propinsi yang terletak di Sumatera bagian utara, yang meliputi, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, dan Aceh. Namun demikian, saat ini, kerja sama terkendala krisis ekonomi yang belum pulih hingga pertengahan tahun 2003.

0 komentar:

Posting Komentar