Rabu, 05 Desember 2012


Astaghfirullahal ‘adzim, alangkah seringnya kita memotivasi anak-anak kita bukan demi kebaikan mereka di akhirat, tetapi demi memperturutkan kebanggaan kita sendiri. Kita didik mereka agar mampu membaca pada usia balita, bukan agar mereka l
ebih mengenal Tuhannya, tetapi demi mendatangkan decak kagum tentang betapa hebatnya kita mendidik mereka.

Kita asah kecerdasan sehingga hebat luar biasa. Bukan agar bisa menolong agama Allah ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Justru sebaliknya, kita ajarkan kepada mereka doa-doa kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh dunia. Kita biasakan mereka berdoa bukan agar hatinya terpaut dengan Allah ‘Azza wa jalla, tetapi semata agar Allah melimpahkan perstasi yang menakjubkan. Tak salah jika semasa kuliah rajin puasa dan memelihara sikap takzim pada orang tua, tetapi sesudah mereka memperoleh apa yang dicita-citakan, bekas-bekas puasa Senin itu tak tampak sedikit pun.

Pertanyaan kemudian, apakah salah kita menyayangi mereka? Tidak. Kecupan untuk anak kita atau pelukan hangat saat bercanda dengan mereka adalah perbuatan sunnah apabila kita melakukannya untuk meninggikan perintah nabi. Allah ‘Azza wa jalla akan melimpahkan barakah bagi setiap kecupan kita atau usapan jemari di atas pipi mereka yang basah oleh airmata. Allah akan jadikan setiap detik kehidupan kita bersama anak-anak kita sebagai catatan pahala yagn tiada putus-putusnya bila kita sentuh mereka karena ketakwaan kita kepada Allah. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang akan kita dapatkan jika kita melakukan semua itu demi kebanggaan kita sendiri?

Subhanallah, alangkah sering mata kita terkelabui oleh yang semu. Kita menginginkan mereka mendengar setiap perkataan kita. Tetapi kita lupa belajar mendenganr suara nurani mereka. Kita ingin anak-anak kita cerdas, enerjik dan kreatif, tetapi kitalah yang pertama kali membunuh bakat-bakat mereka, inisiatif-inisiatif mereka dan bahkan kebaikan-kebaikan mereka.

Astaghfirullahal ‘azhim. Alangkah sia-sia kita mendidik anak, kecuali jika kita melakukannya sebagai tanggun jawab kepada Allah Ta’ala. Alangkah sia-sia kebanggan kita atas kehebatan mereka kalu kehebatan itu justru mengantarkan mereka ke neraka, kemudian menarik kita untuk sama-sama tercampak dalam siksa yang pedih. Na’udzubillahi min dzalik.

Masya Allah….., terkadang kita ajarkan kepada mereka doa-doa, tetapi tanpa menumbuhkan keyakinan bahwa Allah adalah tempat bergantung dan memohon pertolongan. Kita ajarkan kepada mereka Al-Qur’an, sehingga mereka fasih membacanya di usia yang masih amat belia, tetapi kita lupa membangkitakan kepercayaan di hati mereka untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup. Kita ajarkan kepada mereka hafalan surat-surat pendek, bukan untuk membekali jiwa mereka, tetapi demi memproleh tepuk tangan yang meriah saat wisuda TPA. Atau kita gembleng mereka untuk mampu mengusai ilmu apa saja, tetapi tanpa mempersiapkan jiwa mereka untuk mengabdikannya kepada Allah ‘Azza wa jalla. Kita tidak membangkitkan jiwa mereka untuk mencintai agama ini dengan ilmu, iman dan amal shalih. Mereka menjadi orang-orang yang merugi meskipun prestasinya membuat orang lain merasa iri.

Ya…..ya……ya…..., alangkah sia-sia semua usaha kita kalau hanya untuk hidup di dunia. Terlalu mahal biaya yang harus kita bayar. Terlalu besar tenaga yang harus kita keluarkan kalau kita didik anak-anak kita menjadi manusia cerdas hanya untuk pandai mencari nafkah. Alangkah panjang masa mereka belajar sejak play group hingga jenjang S-3 untuk hidup yang amat pendek, jika mereka mampu menyelesaikan doktor pada usia 30 tahun sementara Allah mengaruniakan kepada mereka usia rata-rata, yakni 60 tahun, berarti belajar satu hari untuk dapat bekerja mencari nafkah satu hari. Sementara menikmatinya Cuma beberapa jam. Itu pun banyak yang tidak sempat menikmati.

Demi masa. Sungguh kita sangat merugi kalau kita didik anak-anak kita dengan sekian banyak kursus dan keterampilan hanya agar masa depan mereka cerah, dan memperoleh pekerjaan yang membanggakan. Apalagi kalau anak-anak itu ternyata sebelum sempat meraih masa depan Allah sudah memanggilnya. Sungguh, kerugian yang berlipat-lipat bagi kita. Di dunia kita tidak mendapatkan apa-apa sementara di Akhirat kita hanya meratap dengan penuh kekecewaan.

Sahabat, mudah-mudah kisah dibawah ini membuat tersadar akan arti pentingnya Anak kita………. http://www.facebook.com/notes/rumah-yatim-indonesia/anak-kita-bukan-robot-kisah-sukses-kisah-nyata-kisah-nabi-cerita-rakyat/10151260712360690
ANAK KITA BUKAN ROBOT, Kisah Sukses, Kisah Nyata, Kisah Nabi, Cerita Rakyat
ANAK KITA BUKAN ROBOT

Bu Linar mewarisi dendam kesumat akibat sejak kecil dirundung penderitaan dan penghinaan. Tidak ingin selamanya hidup menderita dan dicaci, dia berhasil menaikkan harkat keluarganya dengan bekerja keras menjadi gu...
Teruskan Membaca...
ANAK KITA BUKAN ROBOT   Bu Linar mewarisi dendam kesumat akibat sejak kecil dirundung penderitaan dan penghinaan. Tidak ingin selamanya hidup menderita dan dicaci, dia berhasil menaikkan harkat keluarganya dengan bekerja keras menjadi guru....

0 komentar:

Posting Komentar